Rabu, 08 Juni 2016






































Sumber : Novel PDF Do'a Diary Aisyah-Asma Nadia

BUKU HARIAN FANI 
oleh : Dwi Wulandari

Setiap manusia dibumi ini masing masing punya kesempatan untuk bertaubat. Tentang kapan mereka akan bertaubat, itu tergantung hati mereka. Sebagai sesama manusia, hendaknya kita saling mengingatkan mereka.
“Lagi lagi kamu membuat masalah. Bunda nggak tahu harus gimana lagi sama kamu” Tukas seorang wanita cantik sambil menyeka air matanya.
“Kamu gak ngasih ayah pilihan lain. Pokoknya sekarang kamu kemasi barang barang kamu dan bersiaplah, ayah akan kirim kamu ke desa” Timpal seorang pria disebelahnya.
“Tapi yah. Fani gak mau ke desa. Gimana sama sekolah Fani?”
“Kamu bisa sekolah disana”
“Tapi..”
“Gak usah pake tapi tapian. Cepat kemasi barang kamu”
Fani berjalan kesal menuju kamarnya. Dia dihukum atas kesalahannya. Ini bukan pertama kalinya Fani membolos dan ugal-ugalan bersama teman-temannya. Entah ini sudah yang keberapa.
Di desa tempat tinggal neneknya lah yang kini akan menjadi tempat tinggal Fani. Terlihat masih asri dengan kedamaian di sekitar.
“Assalamu’alaikum, bu”
“Wa’alaikumsalam.”
“Maaf bu nggak ngasih kabar dulu. Kami ingin segera ketemu ibu. Jadi nggak sempet nelpon dulu”
“Gak apa apa. Ibu seneng kalian main kesini. Tapi ada apa ya? Kok bawa koper segala?”
“Ini, bu. Anak kami, Fani akan tinggal disini selama bulan. Ibu gak keberatan kan”
“Gak. Ibu malah seneng ada yang nemenin ibu disini. Sini Fani. Duduk sama nenek”
“Iya, nek”
Perbincangan terus berlangsung hingga satu jam. Mereka menceritakan kelaukan nakal Fani dan tujuan mereka menitipkan Fani disini.
“Maaf, bu. Faldi dan Dea harus segera pulang. Kami ada pekerjaan yang gak bisa ditinggalin.”
“Ya udah. Hati hati dijalan ya”
“Iya, bu. Titip Fani ya”
Mereka pun pergi meninggal Fani di tempat itu. Fani yang masih kesal langsung masuk dan mandi untuk menjernihkan pikirannya.
Selesai mandi, Fani keluar dengan pakaian yang serba mini.
“Kamu mau kemana, sayang?” Tanya sang nenek menatap heran pakaian Fani.
“Fani mau jalan jalan sebentar. Fani bete di rumah ini”
“Dengan pakaian seperti itu? Emang kamu nggak punya pakaian yang lebih tertutup? Ganti pakaianmu dan pakailah jilbab” Tanya Nenek sambil tersenyum indah pada Fani.
“Kenapa Fani harus pake pakaian tertutup dan berhijab? Kan gerah. Lagian pakaian Fani seperti ini semua”
“Kalo kamu nggak punya, kamu bisa pake pakaian ibu kamu. Masih ada beberapa di dalam”
“Tapi nek..”
Nenek mengeluarkan dua bungkus permen. Yang satu ia buka dan ia genggam.
“Sekarang kamu pilih yang mana?”
“Yang ada bungkusnya lah”
“Nah. Perempuan itu seperti permen ini. Orang akan lebih suka yang tertutup rapi dan belum disentuh orang”
Fani merenungkan perkataan neneknya. Cukup masuk akal. Pikir Fani. Fani menurti perkataan nenek dengan harapan orangtuanya akan segera mengembalikannya ke kota.
Hari hari berlalu dengan sejuta peristiwa menarik bagi Fani. Memenuhi buku harian Fani. Mulai dari pujian dari warga sekitar karena wajah cantiknya yang dibalut jilbab. Hingga datangnya teman teman Fani dari kota. Menertawakan penampilan Fani.
“Sumpah, Fan. Lu aneh banget pake baju kaya gitu”
“Gue sekarang udah sadar. Hijab itu penting dan harus buat semua perempuan”
“Yah, percuma kali lu pake hijab kalo lu masih suka ugal-ugalan”
“Gini. Kalo gue nakal tapi gue pake jilbab gue cuma dapet satu dosa. Tapi kalo gue nakal juga gak pake jilbab, gue dapet dua dosa. Lagian dengan pake jilbab, gue jadi malu berbuat nakal. Jadi gue nggak akan dapet dosa”
Semua temannya terkejut melihat kelakuan Fani yang berbeda jauh.
“Fan.. Mending kita pulang aja deh. Kayaknya lu harus banyak banyak istirahat deh”
“Oke. Hati hati di jalan ya”
Hari itu pun tiba. Hari yang harusnya jadi hari yang bahagia bagi Fani.
“Bunda. Ayah. Fani rasa Fani masih mau disini. Ngisi setiap lembar buku harian Fani. Fani harap, buku harian Fani bisa jadi pelajaran buat mereka yang ada di luar sana.”
“Kamu yakin?”
“Iya, bun. Fani suka disini”
Anatara senang dan sedih, sepasang suami istri itu merelakan anak satu satunya untuk tetap tinggal bersama sang nenek.

Sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/buku-harian-fani.html
PENA, PENSIL, DAN TANYA
oleh : Windi Saputri

“Aku punya mimpi suatu saat bisa pergi ke tempat ini” ujar Ali sembari menunjukkan foto lukisan Monalisa yang ada dalam hp-nya pada Adit, teman dekatnya yang sedari tadi sibuk dengan kamera yang melingkar di lehernya.
“Asal kamu tahu ya Li, tetangga Mbah ku meninggal gara-gara punya mimpi mau meluk candi borobudur, jangan sampai kamu kayak gitu” ledek Adit dengan tawa yang menghiasi wajahnya, ia memang paling suka meledek teman dekatnya itu, karena seorang Ali, kalau diledek dia nggak bakalan melawan, hal yang ia lakukan hanya menghela nafas atau geleng-geleng kepala dan hal itu yang membuat Adit geli.
“Males ah, curhat sama cowok!” ujar Ali yang kemudian memberesi pensil, penghapus dan sebuah kertas putih yang sedari tadi berada di atas meja untuk kemudian pergi dan beranjak dari tempat duduknya, sementara Adit hanya diam di tempat dan tak memperdulikan Ali yang pergi meninggalkannya.
Sementara Ali, mengikuti langkah kakinya menuju sebuah tempat dimana seorang hamba bisa sangat dekat dengan Tuhannya, tempat dimana semua tanya yang ada di dalam hati mampu terjawab dalam hitungan waktu sebagai wujud cinta kasih-Nya.
Seusai sholat, ia pun beranjak untuk kembali ke kelas, namun belum juga ia sampai di kelas, sudah ada Dea, teman di club tempat ia mengekspresikan apa yang menjadi bakatnya.
“Nanti sore, kamu ada acara?” tanya Dea dengan tatapan serius pada Ali, sementara Ali dengan santainya hanya menjawab lewat gelengan kepala “Nggak ada”
“Temenin aku nyari bibit buat tanaman hidroponik ya” pinta Dea
“Kenapa aku?”
“Lagi pada sibuk semua”
“Ya udah, nanti kalau mau berangkat kamu sms aja” jawab Ali yang di sambut senyuman manis dari Dea sebelum ia pergi ke kelasnya. Begitu pula dengan Ali yang kembali duduk di samping cowok yang 2 tahun duduk dengannya yang masih dengan aktivitas yang sama ‘berkutat dengan kamera’.
Sore ini, seperti agenda yang telah ada, Ali menemani Dea mencari bibit tanaman, ikut club yang ada kaitannya dengan biologi memang bukan dunia yang sepenuhnya, namun bagaimanapun menjalani hidup tak harus monoton, karena ada banyak hal yang bisa di lakukan untuk menikmati hidup.
“Makasih ya udah mau nemenin aku” ujar Dea saat keluar dari toko bibit tanaman
“Santai aja De” jawab Ali santai “Kamis besok aku tunggu di club, ok!” lanjut Dea yang lagi-lagi senyum menghiasi dalam wajahnya “Iya, tenang aja” jawab Ali santai, dan pembicaraan mereka terhenti saat Dea mulai pergi meninggalkan Ali yang masih berdiri di depan toko memegangi kunci motor dan memandang Dea yang perlahan mulai menghilang dari pandangan.
“Abis darimana Li?” tanya Ibu yang sedang menyirami bunga di depan rumah, saat Ali baru saja turun dari motornya, dengan langkah pasti ia mendekati wanita yang sangat ia cintai, cinta yang tak akan habis oleh kata-kata, dan wanita yang sangat ia hormati bahkan sebuah ciuman tangan tak mampu menandingi rasa cinta kasih yang telah Ibu berikan kepada anaknya “Nyari bibit tanaman bu, buat club abis itu kumpul sama temen” jawab Ali
“Kalau main jangan nyampe maghrib gini dong Al, cepat sholat gih” ujar Ibu dengan penuh kelembutan “Iya Bu” jawab Ali yang segera melaksanakan perintah Ibunya itu. Bagi Ali, ada 2 hal yang cukup mengusik hatinya yaitu antara perintah dengan ego, karena keduanya menyangkut tentang hati, semakin bertambah usia, semakin bertambah pula tanggung jawab yang harus ia emban, sebagaimana perintah orangtuanya yang mengharapkan agar ia dapat bekerja di dunia pendidikan, sementara dirinya masih belum bisa menentukan apakah hobinya harus ia jadikan sebagai pekerjaan atau tidak?
VANIA, nama seorang cewek berkacamata yang belum lama menjadi temannya tertera di dalam akun sosial media yang ia punya, dengan rentetan puisi galau, jemari Ali bergerak untuk menyukai karya kecil yang di publikasikan itu, dari bahasa yang Vania gunakan, Ali menangkap sebah kesimpulan bahwa Vania juga bernasib sama dengannya sedang mengalami pilihan yang berat yang mengusik hatinya, meski ia belum tahu apakah 2 pilhan itu
adalah masalah karier sehingga sama dengannya atau masalah hati yang hanya diketahui oleh Vania, tapi yang pasti mulai dari situ, pembicaraan antara Vania dengan Ali dimulai…
Siang ini, sepulang sekolah Ali dan Vania berada di ruang seni di lantai atas, pemandangan sekolahan terlihat lebih indah bila dipandang dari ketinggian, namun bukan pemandangan yang mereka akan bahas melainkan tanya yang ada di dalam diri mereka masing-masing “Kalau kamu lagi ada masalah tentang diri kamu, apa yang pertama akan kamu lakukan?” tanya Ali pada Vania yang sedari tadi bicara panjang lebar untuk kemudian diam seribu kata “Menulis lewat goresan pena, itu kan pertanyaan yang aku tanyain ke kamu?” Vania balik bertanya.
“Iya juga, ini sketsa yang kamu minta” ujar Ali sembari memberikan sketsa pada Vania, dengan senyum mengembang di wajahnya Vania pun menerima sketsa itu dan kemudian membuka ranselnya dan mengeluarkan kertas hasil print out “Ini cerpen sederhanaku, bagus atau nggak, setidaknya letakkan kertas ini di tempat yang nggak mengurangi kehormatan secarik kertas putih”
“Apa sih maksudnya?” tanya Ali dengan ekspresi wajah penuh tanya “Intinya jangan dibuang Li” lanjut Vania, Ali hanya mengangguk dan kemudian membaca tulisan yang tertera di sampul cerpennya “Kamu, ibarat uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, maksudnya apa sih?” lagi-lagi Ali di buat bingung oleh tingakh Vania
“Intinya, kamu kayak uang logam, memiliki dua kepribadian yang berbeda, apa yang aku lihat tak sama dengan apa yang aku baca, kamu terlihat diam dan lebih tenang saat bertemu langsung, tapi kamu begitu aktif dan lebih ekspresif kalau di media sosial, nggak ada salahnya sih kedua-duanya sama-sama baik kok” terang Vania
“Iya” jawab Ali yang hobi dengan jawaban singkatnya
“Kenapa kamu tanya kayak tadi? emang kamu lagi ada masalah?” tanya Vania
“Nggak tahu, ada kata-kata yang mau kamu bilang?”
“Apapun itu masalah kamu, lakukan apa yang ingin kamu lakukan, kalau kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, selalu ingat akan keberadaan-Nya, jadilah hamba yang baik agar selalu dalam dekap Kasih-Nya…” terang Vania
“Begitu ya?”
“Iya, Li, dulu aku punya mimpi bisa baca komik buatan sendiri loh”
“Ya… buat aja” jawab Ali pasti
“Masalahnya, bikin garis lurus aja nggak bisa apalagi gambar”
“Maksudnya aku yang gambar kan?” terka Ali yang hanya menciptakan sebuah tawa kecil dari Vania “Ya gitu deh… kayaknya lucu deh kalau punya karya di akhir-akhir SMA” terang Vania, kali ini Ali hanya mengangguk dan menatap langit dengan tatapan nanar, begitu pula dengan Vania dan selama beberapa menit mereka berdiri di tempat untuk sebuah keheningan yang tak tahu apa artinya.

Sumber : 

Senin, 06 Juni 2016

Novel Asma Nadia - Diary Do'a Aisyah

Assalamu'alaikum, Diary

Senang deh menemukanku di selipan rak buku tadi pagi. Warna birumu yang sejernih langit pagi di hari cerah bikin aku nggak mikir panjang untuk membawamu ke kasir. Padahal uang mingguan dari Mama sudah nipis.
      Untung saja ketemu sama Naomi. Hm, nanti kapan-kapan aku ceritain ya tentang gadis berkulit gelap yang jatuh cinta setengah mati sama Bang Harap. Seandainya dia Naomi Campbell atau Naomi Watts, mungkin urusannya lain, hehehe. Pasti Bang Harap terasa ketimpa bulan eh. Tapi ini, hm let's say gadis ini jauh dari kriteria Bang Harap. 
     Singkatnya, Naomi yang biasa dipanggil Encun, berdiri tepat di depanku dalam antrian pendek ke kasir. Terus tanpa ba bi bu lagi langsung aja mengambilmu ketika tiba gilran membayar. Sebenarnya aku udah berusaha nolak, sambil dalam hati ngarep... hehehe. Tpai Naomi bersikeras. Jadi apa yang bisa kulakukan kecuali...ngucapin ALHAMDULILLAH? :)
Begitulah ceritanya hingga kamu tiba di salah satu ruangan di rumah Jalan Kemuning ini.


The Moments : Saat Sedih & Berduka
Assalamu'alaikum, Dy.
Siapa yang tidak pernah sedih ? Pasti semua orang pernah mengalami kesedihan. Dan pagi ini, lepas shalat dhuha di mushalla, Puput, Linda, Elisa, Icha dan Retno untuk pertama kali membicarakan pengalaman paling menyedihkan yang masing-masing prnah rasakan.
    Elisa yang pertama bercerita.
    "Pengalama sedih ada beberapa, tetapi yang paling memukulku sewaktu Papa dan Mama benar-benar bercerai. Rasanya aku hilang pegangan, bawaannya mau nangis terus."
    Kami semua menatap wajah cantik Elisa yang sekilas digayuti mendung saat menceritakan pengalaman sedihnya itu, Dy.
    "Belakangan aku mencoba meyakini. Itu keputusan pahit, takdir yang tidak diinginkan, tetapi mungkin itulah yang terbaik buat semua. Toh sudah bertahun-tahun mereka tinggal satu atap tanpa saling bicara. Sekalinya bicara nadanya tinggi semua. Aku coba prasangka baik sama Allah."
      Kami mengangguk-angguk mendengar cerita elisa. Lalu Linda, eh... masih ingat Linda, kan? Yang badannya sehat dan wajahnya selalu ceria, terutama ketika ada dalam radius dekat ke kantin, hehehe.
     Nah, pengalaman Linda lain lagi.
     "Kalau gue, kejadian yang paling bikin sedih waktu gue masuk sekolah dasar. Pulang sekolah dapat kabar, abang gue yang masih SMP dalarikan ke rumah sakit karena ditusuk di halte tempat dia menunggu jemputan."
   Dy.
   Waktu mendengar itu, Puput dan teman-teman lain langsung menahan napas. Kami telah enjadi teman baik sejak lama. Kok bisa nggak tahu ya ternyata Linda punya peristiwa yang dikenangnya ?
   Saking terharunya, nggak ada yang menyelak kalimat Linda. Nggak juga Icha yang biasanya senang meledek dan menggoda temannya yang bertubuh besar itu. Semua diam sampai Linda akhirnya melanjutkan.
   "Yang lebih sedih..." Linda mengusap air matanya yang menitik, "Ketiak sekeluarga di rumah sakit... abang sudah tidak ada."
   Inna-lillahi... Kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Betapa beratnya.
   "Kamis sekeluarga tentu terpukul, terutama Mama. Waktu itu guru mengajiku lalu mengajarkan sebuah doa, agar ikhlas menerima musibah ini."
   Dy, ini doa orang yang tertimpa musibah, yang diajarkan Linda, 
 "Innaa lillahi wa innaa ilaiihi raajiuuna. Allahumma ujurnii fii mushiibatii wa akhlif lii khoiroon  minha , yang artinya : sesengguhnya kami milim Allah dan kepada-Nya kami akan kembali ( du hari kiamat). Ya Allah! Berilah pahala kepadaku dan gantilah untukku dengan yang lebih baik (dari musibahku)"
   Kisah Retno lain lagi.
   "Aku ingat pertama merantau ke Jakarta, aku masih kecil sekali waktu itu, aku ingat Mamak harus berhutang ke kiri dan ke kanan agar kami bisa sekolah. Suatu waktu orang tempat Mamak berhutang mabuk dan mengamuk di depan rumah. Sambil memaki-maki. Malu sekali... sekampung jadi tahu soal hutang dan kemiskinan kami."
   Retno yang gagah dan perksa itu ternyata menyimpan hal lain yang melukai hatinya ya, Dy.
   "Perlu waktu lama bagiku untuk merasa situasi kembali normal, dan kami bisa mengangkat wajah tegak ketika keluar rumah."
   Pas giliran Puput cerita, Puput jadi mikir, apa ya yang paling membuat sedih selama in?
   "Besra tanpa Papa, karena beliau meninggal di waktu Puput masih kecil. Sedih sekali rasanya setiap meliaht anak-anak lain di sekolah digandeng papanya. Senentara Puput harus puas digandeng Bang Vince, Hamka, Hrap atau Iid, meski suatu hari Bang Harap paki kumis palsu biar terlihat sebagai bapak beneran, hehehe. Hanya supaya Puput tidakk sedih..."
   Sampai di bagian itu, teman-teman langsung ketawa, Dy. Mungkin mereka membayangkan penampilan Bnag Harap yang memang suka dunia seni peran itu, ya ?
   Beberapa saat kemudian suasana tawa berubah hening. Mata kami semua kompak terarah kepada Icha.
   "Kamu pernah sedih, Cha ?"
   Icha mengangguk.
   "Pastinya!"
   "Cerita dong..." pinta kami bersahut-sautan.
   Icha mengangguk. Tetapi kembali terdiam. Wajahnya seolah mengingat-ingat denagn serius, membuat kami makin penasaran.
   "Hmmm..." gadis berkulit putih yang senang dandan modis itu berdehem panjang sebelum memulai kalimat-kalimatnya,"Aku sedih banget waktu cowok online yang aku taksir, pas ketemu ternyata dia tak lain tak bukan adalah Ekky Kribo dengan janggut selembarnya itu. Langsung ilfill rasanya."
   Pupt, Elisa, Rno dan Linda kontan bertukar senyum.
   "Ada lagi," lanju Icha bersemangat.
   Ahh, mungkin Icha menyimpan kisah yang lebih sedih, lebih tragis, lebih melukai lubuk hatinya yang palin dalam, dan oerlu waktu untuk mereka ulang peristiwa itu dalam ingatan...
   Icha menatap kami semua hati-hati. Serius sekali wajahnya, sebelum berkata...
   "Kesedihan yang lain waktu bedak andalanku, yang bikin kulit putih dan tanpa jerawat, dijatuhkan keponakanku hingga tinggal serpih-serpih kecil. Seolah-olah hatiku ikut meluncur ke bawah saat itu."
   Ichaaa...!!!
   Sedih gara-gara bedak?
   Tapi bukan Icha kalau nggak cepat menenangkan temannya.
   "Sedih itu kan relatif, teman-teman..."
Kami mengangguk. Benar juga si Icha.
   Lalu tiba-tiba Puput melemparkan pertanyaan itu.

   "Ada yang tau nggak sih doa pas lagi sedih mendalam gitu?"
    Semua coba mengingat-ingat. Tapi Linda yang pertma menjawab.
   "Kalau aku banyak baca doa ini Put."
   
"Allahumma innii 'abdukabnu 'abdikabnu amatika, naa shiyatii biyadika maa dhin fiyya hukmuka 'adlun fiyya qodhoouka, as aluka bikullis min huwa laka sammayta bihi nafsaka, aw anzaltahu fii kitaabika, aw 'allamtahu ahadaan min kholqika, awista- tsarta bihii fii 'ilmil ghoibi 'indaka, an taj'ala qur'ana robii a qolbii wa nururo shodrii, wajalaa-a huznii wadzahaaba hammii , artinya : Ya Allah, aku hambaMu, anak hambaMu, anak hamba perempuanMu, ubun-ubunku ada di tanganMu, hukum-hukumMu berlaku atas pundakku, dan penetapanMu adil terhadapku. Aku memohon atas segala nama yang telah Engkau sebutkan dengan diriMu, atau yang telah Engkau tutunkan dalam kitabMu, atau yang telah Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhlukMu, atau Engkau rahasiakan dalam ilmu gaib di sisMu agar menjadikan Al-Qur'an sebagai pelipur hatiku, sebagai cahaya penerang dadku, sebagai pelepas kesusahanku, dan sebagai penawar kesedihanku."

Sumber : Novel PDF karya Asma Nadia.
GENDERANG PERANG

malam itu
kugigit sisa benang penjahit bajumu kandaku
kugigit dengan gigiku runcing

kudengar merdunya genderang perang
menyerumu kembali
dari istirahat hanya senentar
untuk tampil lagi ke medan

malam itu
kugigit sisa benang jahitan
dan kugigit juga bibirku kecil
penahan gairah
melepasmu pergi
untuk berlawan
habis-habisan

jangan sangsikan kami yang tinggal
kami pun menunggu
tiba saatnya pasti maju
menuntut bela
ke garis depan

bila ajalmu tiba kandaku sayang
terimalah dengan tenang
dan sebagai kenangan terakhir
pandang serta kecup jaitan di bajumu
di mana pernah hadur gigil tangis dan bibirku

tapi bila Tuhan memberimu umur panjang
dan kemenangan di tangan
segeralah pulang
kita panjatkan doa bersyukur
dan hangatkan o, kandaku sayang anak-anak kita
dengan kisah-kisah perjuangan

Sumber : Buku Kumpulan Puisi ANGIN LAUT TAWAR, L.K. Ara
KAU BUNDA DI SAMPING IBUKU

sekian tahun pergi
kini kembali
berjuntai dalam airmu segar
kusaksikan keluasaanmu
kian membiru
kian terbuka
namun memendam
resia paling dalam

sekian tahun pergi
kini mengelai
di tepianmu
badan lelah
dari perjalanan jauh
merindukan kelembutanmu
usapan ramah riak-riakmu
kecipaknya mengipaskan
hiruk pikuk kota-kota
dari bawah saudaraku

sekian tahun kembara
lalu tenggelam
dalam lelap dinyamani mimpi
bangunku o danau
oleh angin kau panggil
drai taman di seberang
meniti pelangi ia datang
buru-buru menegurku
ia empaskan ombak sore
yang warnanya puspa ragam
menyerbakan aneka wangi

begitu kasihmu terhadapku
o, inang
kau bunda di samping ibuku
anak yang dulu
pergi diam-diam
terimalah ia kembali
si anak nakal
insaf kini
ia tetap anakmu

Sumber : Buku Kumpulan Puisi ANGIN LAUT TAWAR, L.K. Ara